Meskipun sekarang ini negeri sedang dilanda pandemi Covid-19, tidak lantas virus lain yang ”beraneka ragam” tidak ada. Banyak penyakit yang sedang memberikan ancaman serius pada masyarakat atau bangsa ini, khususnya anak-anak. Mereka ini seolah diidentikkan sebagai manusia khusus yang layak dijadikan sebagai obyek berbagai kepentingan, yang di sisi pihak yang mengorbankan menjadi keuntungan, sementara dari pihak anak-anak, jelas sangat merugikannya.

Sebagai sampel ”virus” itu misalnya sejumlah kasus kekerasan yang menimpa anak dewasa ini, tidak lepas dari budaya kekerasan di lingkungan keluarga atau  orang-orang dekat atau kondisi tertentu yang menjadi ”teman dekatnya”.

Temuan Komnas Perlindungan Anak dan Perempuan pernah membenarkan, bahwa kekerasan terhadap anak, sebanyak 68 persen lebih dilakukan oleh orang yang dikenal korban. Kejadian yang tidak dilaporkan diperkirakan jauh lebih banyak. Ini baru virus dari orang-orang deatnya, padahal yang menjadi ”kawan/teman dekat” anak-anak sekarang ini sangat banyak, dianaranya virus yang disebar dari dunia siber.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

Kalau yang disuguhkan oleh orang dewasa kepada jagad anak-anak tetaplah bercorak neo-barbarian atau memanfaatkan jagad globalisasi informasi (internet) untuk menumbalkannya, maka jangan disalahkan jika di kemudian hari kita akan semakin kekurangan atau mengalami krisis serius generasi bermutu, pasalnya anak-anak yang diidealkan sebagai investasi sejarah masa depan bangsa ini  sudah dicabik-cabik oleh ”virus” atau bahkan pandemi budaya tidak sehat, menyesatkan, dan menghancurkan lewat ranjau-ranjau yang mengomoditaskan dan menumbalkannya.

Mereka laksana dimasukkan atau dibiarkan oleh komunitas orang dewasa untuk menjalani kehidupan atau bersahabat dekat dengan ragam ”virus” yang disebar dari”neraka”. Yang ditemukan dan dikarabi oleh anak-anak melalui ”teman dekat” dunia siber sepertinya menyenangkan dan membahagiakan, serta sarat pesona menghibur, namun kenyataannya menyesatkan, menjerumuskan, dan menghancurkan., atau membuatnya bak kelinci percobaan atau obyek yang ”disembelih” ketahanan psikologis, moral, dan keagamaannya.  Atmosfir inilah yang membuatnya bisa sekarat dalam menghadapi berbagai bentuk goncangan peruban milenialistik dari dunia maya yang memang terus berubah mencari ”mangsa”.

Pemenang Hadiah Nobel Sastra tahun 1945 bernama Gabriela Mistral pernah berpesan  kepad asemua pihak yang punya tanggungjawab terhadap nasib anak-anak, sebagaimana tulisnnya “We are quilty of many errors and faults, but our worst crime to abandoning our children, neglecting the fountain of life. Many of the things we need can wait. The child can not. Right now is the time his blood is being made and his senses are being developed. To him we cannot answer “tomorrow”. His name is “today”

Kalimat pemenang Nobel itu diterjemahkan penyair kenamaan Taufik Ismail “banyak kekhilafan dan kesalahan yang kita perbuat, namun kejahatan kita yang paling nista adalah kejahatan  mengabaikan anak-anak kita, melalaikan mata air hayat kita. Kita bisa tunda berbagai kebutuhan kita. Kebutuhan anak kita, tidak bisa ditunda. Pada saat ini, tulang-belulangnya sedang dibentuk, darahnya dibuat dan susunan sarafnya tengah disusun. Kepadanya kita tidak bisa berkata “esok”. Namanya adalah “kini”.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

Peringatan Pemenang Hadiah Nobel tersebut menunjukkan, bahwa pertumbuhan anak harus menjadi perhatian serius.  Kebutuhan ini tidak bisa ditunda-tunda, apalagi diabaikan dan telantarkan.

Mengorbankan (membiarkan) anak identik dengan menodai sejarah kehidupan bangsa ini. Kebutuhan anak yang tak bisa ditunda ini diantaranya memberi  atau menjelaskan tentang pola informasi kepadanya tentang ranjau-ranjau dari ”eksplorasi” informasi mematikan (menghancurkan) yang dibawa dan dijual oleh pebisnis jagad siber.

Diantara informasinya, adalah dalam jagad siber, sahabat-sahabat spesial di dunia maya yang dikenalnya tidak boleh diberikan tempat liberal untuk menguasai dan menghegemoni dirinya.  Anak-anak harus kita tanya dan ajak diskusi (komunikasi) tentang ”substansi”  dialektikanya dengan komunitas eksklusif dan privasinya di jagad maya.

Kalau kita biarkan mereka memasuki dan ber-akrab-akrab dengan jagad maya secara liberalistik, memilih dan mengikuti kemana saja kiblat sahabatnya tanpa filter dan diskursus kesejatian atau obyektifitasnya, maka mereka tidak akan lagi menjadi bagian dari keluarga dan karakter keindonesiaan kita, tetapi terjerumus masuk dalam ”neraka” yang paling mengerikan.

Mereka itu bisa menjadi pemilih jalan yang bukan jalannya pembangun keadaban, melainkan penyubur kejahatan atau kebinatangan.  Mereka harus terus didampingi untuk membaca dan menerjemahkan ragam ’virus” yang mengepungnya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Ana Rokhmatussa’diyah, Doktor Ilmu Hukum dan Dosen Fakultas Hukum Unisma, Penulis sejumlah Buku, Ketua Pokja 1 TP PKK Kota Malang

TUlisan asli dimuat di times Indonesia edisi 10 Mei 2020.

Artikel yang Direkomendasikan