Tulisan ini masih terkait kebijakan Mendikbud yakni Merdeka Belajar Jilid 2: Kampus Merdeka yang sebelumnya sudah diulas kebijakan pertama dan kedua. Kesempatan kali ini saya coba ulas kebijakan ketiga dan keempat. Kebijakan ketiga menjadi angina segar bagi PTN tapi tidak untuk PTS, sementara kebijakan keempat menjadi tantangan baru bagi seluruh perguruan tinggi yang ada karena model ini baru bagi Indonesia.
Ketiga
Kebejikan Mendikbud ketiga dalam Kampus Merdeka ini adalah kebebasan bagi PTN Badan Layanan Umum (PTB BLU) dan Satuan Kerja (Satker) untuk menjadi PTN Badan Hukum (PTN BH). Seperti diketahui PTN BH adalah Perguruan Tinggi Negeri yang memiliki otonomi penuh dalam mengatur anggaran rumah tangga dan keuangan perguruan tinggi itu sendiri. Sedangkan, perguruan Tinggi Negeri yang tidak memperoleh status PTN-BH maka tidak memiliki otoritas dalam menentukan anggaran rumah tangga dan keuangannya sendiri, melainkan diatur oleh pemerintah. Dan salah satu keuntungan perguruan tinggi dengan status PTN-BH yang saya tahu mereka bebas membuka dan menutup prodi yang ada pada Perguruan Tinggi tersebut. Satu sisi PTN BH bisa menarik anggaran kepada mahasiswa diluar ketentuan yang sudah ditetapkan pemerintah. Gampangnya bicara PTN BH seperti PTS Plus dalam sisi anggaran, mereka dapat dana dari pemerintah juga dari masyarakat (mahasiswa).
Kebijakan lama PTN untuk menjadi PTN BH harus mendapat akdeditasi A dan sebagian besar dari prodinya juga terakreditasi A. Kebijakan baru ini PTN dari PTN BLU dan Satker dapat mengajukan Perguruan Tingginya tanpa ada akreditasi minimum, kapanpun bisa mengajukan jika merasa siap untuk menjadi PTN BH. Tentu dengan syarat-syarat yang diminta tapi sudah tidak memperhatikan standar mutu yang ditetapkan BAN karena sudah tidak memperhatikan apakah dapat akreditasi A atau tidak.
Kebijakan ini sebenarnya bisa membunuh PTS yang kecil-kecil yang ada di daerah-daerah, bahkan yang ada di kota-kota besar yang tidak bisa bersaing dengan PTN. Mereka yang mempunyai kemampuan finansial dan ingin masuk PTN dengan biaya berapapun akan memilih PTN, karena PTN di Indonesia masih lebih unggul disbanding dengan PTS-PTS yang ada. Top ten perguruan tinggi yang ada di Indonesia masih didominiasi oleh PTN. Artinya adalah dengan keleluasaan mengelola keuangan sendiri PTN akan banyak berkreasi dengan inovasi yang dikembangkan melebihi PTS karena memiliki SDM yang melimpah. Bukan pekerjaan sulit bagi PTN untuk menyulap PTnya karena mereka mempunyai dana yang kuat serta SDM yang unggul. Dalam konteks ini PTS harus waspada agar tidak tergilas oleh derasnya PTN menjadi PTN BH, jika tidak bisa menghitung dengan baik maka akan terjadi gelombang tsunami PTS tutup dadak, seperti wabah virus corona di Wuhan, China.
Keempat
Kebijakan keempat ini saya anggap palaing visioner meskipun aura liberalis sangat menguat didalamnya. Tapi ini perlu dikaji dan diterapkan betul karena niat yang disampaikan oleh Mendikbud paling visioner dalam menjawab tantangan masa depan di era revolusi industry 4.0. kebijakan mahasiswa untuk mengambil matakuliah di luar prodi adalah dunia baru bagi perkuliahan di Indonesia meskipun ada beberapa PT yang sudah menginisiasi.
Saya sepakat bahwa kompetensi manusia unggul dimasa yang akan datang tidak cukup hanya mengetahui satu keilmuan saja. Seorang guru misalnya harus ditopang dengan kemampuan komunikasi yang baik serta kemampuan teknologi informasi yang memadai. Sehingga guru mampu menjadi guru yang professional. Tentu ini bukanlah pekerjaan mudah, harus ada kerja keras yang harus dilakukan agar mahasiswa betul-betul bisa melaksanakan perkuliahan di luar prodinya sebanyak 3 semester.
Inilah seklumit ulasan dari kebijakan Mendikbud yang dapat saya ulas dari sisi positif dan kemungkinan berdampak negative bagi yang lainnya. Memang setiap kebijakan mempunyai dua sisi tersebut. Apapun kebijakan itu harus diambil dan konsekuensi dari itu pasti ada dan harus dihadapi. (*)
*) Muhammad Yunus, Dosen FKIP Universitas Islam Malang. Pengurus Lembaga Pendidikan Maarif Jawa Timur.