BELAJAR KARAKTER DARI AL-GHAZALI DAN IBNU MISKAWAIH

Oleh Ketua Takmir Masjid Ainul Yaqin UNISMA

Pendidikan sejatinya adalah untuk menghilangkan akhlak yang buruk dan menanamkan akhlak  yang baik. Selanjutnya dalam kitab “Maw’idzāt al-Mu’minīn” ia menerangkan hakikat akhlak adalah keadaan atau konstitusi jiwa yang tetap (konstan) yang menjadi sumber lahirnya perbuatan secara wajar, mudah tanpa memerlukan pertimbangan dan pikiran. Dan pada  akhirnya, secara lugas al-Ghazali mengemukakan dua tujuan yang akan dicapai;  pertama, kesempurnaan manusia yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah. Kedua, kesempurnaan manusia yang bertujuan untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Sedangkan Ibnu Miskawaih merumuskan tujuan  pendidikan akhlak, dalam tahdhībal-akhlāq, ialah terwujudnya pribadi susila, berwatak luhur, atau budi pekerti mulia. Dari budi (jiwa/watak) lahirlah secara spontan pekerti yang mulia sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh sa‘adat   (kebahagiaan yang sempurna). Selanjutnya Ibnu Miskawaih menjelaskan bahwa manusia tidak dapat  mencapai kesempurnaan dengan hidup menyendiri, tetapi harus ditunjang oleh masyarakat.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

Perbedaan yang mendasari rumusan tujuan pendidikan akhlak Ibnu Miskawaih dan al-Ghazali tersebut adalah pada metodologi perolehan kesempurnaan. Ibnu Miskawaih menggunakan metode analitis, sedangkan al-Ghazali menggunakan metode hipotesis. Perbedaan  tersebut adalah: pertama, kesempurnaan yang dimaksud Ibnu Miskawaih tidak akan diperoleh dengan sendirinya, tetapi harus dengan masyarakat. Hal ini menandakan  bahwa sifat akhlak Ibnu Miskawaih adalah akhlak sosial. Sedangkan menurut al-Ghazali kesempurnaan bisa dilakukan dengan praktek asketik, sehingga sifat akhlak al-Ghazali adalah monolitik.  Kedua, kesempurnaan dalam pandangan Ibnu  Miskawaih dan   al-Ghazali adalah kesempurnaan praktis dan teoretis.Yang pertama (kesempurnaan praktis) berfungsi menggerakkan tubuh melalui daya-daya jiwa sensitif, sesuai dengan tuntutan pengetahuan yang dicapai oleh akal teoritis, dan kesempurnaannya ialah kesempurnaan karakter,yaitu dengan menertibkan  fakultas- fakultas jiwa sehingga tidak saling berbenturan, namun hidup di dalam dirinya secara harmonis. Kesempurnaan yang pertama ini erat kaitannya dengan kesempurnaan yang kedua (kesempurnaan teoritis) yang bersifat imateri, dan abstrak serta berhubungan dengan pengetahuan-pengetahuan yang abstrak, dan universal. Sedangkan kesempurnaannya adalah dengan memperoleh pengetahuan yang paling tinggi yang bersifat abstrak, dan universal. Ibnu Miskawaih berpendapat  pengetahuan ini diperoleh dengan akal perolehan (al-‘aqlal-mustafad). Akal perolehan ini  akan mampu menerima pancaran al-hikmat dari akal aktif (al-‘aql al-af’al), adapun caranya adalah dengan usaha yang sungguh-sungguh dalam mempertajam daya pikir.

Sedangkan menurut al-Ghazali  pengetahuan yang  tertinggi adalah diperoleh dengan intuisi (al-dhawq) dengan cara mempertajam daya al-dhawq melalui pembersihan diri dari dorongan-dorongan duniawi untuk dapat bersatu dengan Tuhan. Persatuan dengan Tuhan akan menyingkap segala rahasia dan hakikat-hakikat.

1.      Materi Belajar

Ibnu Miskawaih tidak membeda-bedakan antara ilmu-ilmu agama dan yang non agama. Adapun yang menyangkut materi untuk pendidikan akhlaknya, ia menyebutkan tiga meteri pokok, yaitu: (1) hal-hal yang wajib bagi kebutuhan tubuh, (2) hal-hal yang wajib bagi kebutuhan jiwa, dan (3) hal-hal yang wajib bagi hubungan sesama manusia. Ketiga pokok materi tersebut dapat diperoleh dari dua sumber, yaitu: (1) ilmu-ilmu rasional (al-‘ulūm al-fikriyyat), dan (2) ilmu-ilmu empiris (al-‘ulūmal-hissiyah).

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

Berbeda dengan Ibnu Miskawaih, al-Ghazali mengklaster ilmu pengetahuan menjadi dua bagian besar, yaitu ilmu agama dan non agama. Dari dua bagian besar tersebut dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu: (1)ilmu-ilmu  yang terpuji, (2) ilmu-ilmu yang tercela, (3) ilmu-ilmu yang terkadang terpuji, dan sebaliknya. Dan juga al-Ghazali menyebutkan tiga sumber ilmu pengetahuan, yaitu: (1) ilmu-ilmu rasional yang diperoleh dengan penggunaan rasio, (2) ilmu-ilmu empiris yang diperoleh dengan penginderaan, dan (3)‘ilmu al-kasyāf   yang diperoleh dengan intuisi (al-dhawq).

Dari klasifikasi pengetahuan yang diajukan al-Ghazali yang perlu mendapat sorotan di antaranya adalah  ilmu-ilmu yang  berfungsi mempertajam intelektual dan menjernihkan pemikiran seperti Matematika dan Sains  sebagai cabang dari filsafat, dianggap ilmu-ilmu yang sangat berbahaya karena ilmu-ilmu tersebut berakibat pada keracunan dan kekacauan pemikiran yang jika diterapkan pada kajian metafisik bisa menimbulkan kekafiran.

Konseksuensi pandangan al-Ghazali tersebut adalah pada pembentukan pola pikir (system ofthaught) kaum muslimin. Aplikasinya adalah pada sikap umat Islam dalam menyikapi  ilmu pengetahuan, yaitu secara perlahan tapi pasti mematikan dan melemahkan semangat keilmuan yang kritis dan historis. Sehingga menurut Fazlurrahman, al-Ghazali paling tidak, ikut bertanggungjawab terhadap kemunduran umat Islam dalam Sains, dan teknologi.

Untuk menumbuhkan kembali pola pikir yang aktif, kreatif, progresif, dan inovatif, kiranya perlu dihidupkan kembali materi- materi  pengajaran Ibnu Miskawaih yang bernuansa filsafat dengan berbagai cabangnya dengan bangunan epistemologi yang Islami. Sehingga diharapkan dapat menghantarkan generasi yang akan datang menjadi tuan rumah pada era tinggal landas, dan bukan hanya menjadi tamu.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

2.      Pendidik

Ibnu Miskawaih dan al-Ghazali sama-sama berpendapat bahwa pendidik pertama adalah orang tua. Hal ini bisa dimaklumi karena orang tualah penyebab kelahirannya. Dan kiranya keduanya juga mendasarinya dengan Hadis yang sangat populer  yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:    “setiap anak, terlahir dalam keadaan suci. Kedua orang tuanyalah yang akan membentuknya menjadi Nasrani atau Yahudi 

Selanjutnya keduanya sangat menghargai dan memandang tinggi derajat seorang pendidik, sehingga Ibnu Miskawaih menempatkan derajat pendidik di antara orang tua dan Tuhan, dan menjulukinya sebagai bapak ruhani (wālidruhani) dan orang yang paling mulia (rabb   bashari).  Derajat ini menurut Ibnu Miskawaih hanya bisa diperoleh oleh para filsuf dan para Nabi Sedangkan menurut al-Ghazali diperoleh oleh para Nabi, wali, dan para sufi. Alasannya adalah karena pendidiklah yang dapat membawa peserta didik kepada kearifan, mengisinya dengan kebijaksanaan yang tinggi dan menunjukkan kepada kehidupan dan kebahagiaan abadi. Dengan mendudukkan para sufisebagai wālid ruhani, tanpa memasukkan filsuf, maka semakin jelaslah corak etika sufistiknya al-Ghazali.

Tugas seorang pendidik adalah membekali, memelihara,  dan mengembangkan seluruh aspek kepribadian menuju pertumbuhan yang sehat dan sempurna, baik yang berkenaan dengan fisik, ruhani, intelektual maupun  akhlak. Untuk itu, fungsi pendidik dalam mengembangkan potensi-potensi manusia-jasmani, akal-pikiran, keimanan, akhlak, keindahan, dan  sosial kemasyarakatan secara maksimal, serasi, dan harmonis, sehingga diharapkan sistem pendidikan yang demikian akan mampu melahirkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, plus berakhlak mulia.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Kukuh santoso, M.Pd.I, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI), Ketua Takmir Masjid Ainul Yaqin Universitas Islam Malang (UNISMA)

Tulisan asli di times indonesia edisi 16 Mei 2020