SAAT INI, hampir (meskipun belum semua) di antara kita yang tidak kenal dengan “WhatsApp” atau yang lebih popular disingkat “WA”. Pengguna WhatsApp sudah tidak lagi dibatasi faktor usia, asal daerah, pendidikan atau lainnya. Bahkan, bisa dikatakan WhatsApp merupakan kebutuhan primer bagi manusia yang hidup di era informasi teknologi, seperti yang kita alami saat ini. Salah satu prinsip perkembangan teknologi adalah untuk memudahkan manusia dalam memenuhi hajatnya, termasuk dengan hadirnya aplikasi WhatsApp ini juga memiliki dampak positif untuk menukung itu. Meskipun juga memiliki dampak negatif.
Kalau ditanya ‘mengapa kok memilih WhatsApp sebagai sarana komunikasi?’ Salah satu alasannya adalah karena gratis dan tersedia banyak fitur layanan pengiriman, seperti teks, gambar, video, audio, dan lainnya. Fungsi WhatsApp hampir sama dengan aplikasi SMS. Tetapi WhatsApp tidak menggunakan pulsa, melainkan data internet. Sehingga tidak heran jika, seringkali kita selalu “mencari” sambungan internet “wi-fi” untuk menjaga ‘keberlangsungan’ WhatsApp kita, agar selalu dalam kondisi ON.
Dalam situs https://tekno.kompas.com (01 Februari 2018), CEO Facebook, Mark Zuckerberg, melaporkan performa bisnis perusahaan-perusahaannya untuk kuartal empat 2017. Layanan chatting WhatsApp menunjukkan pertumbuhan signifikan dengan menghimpun 1,5 miliar pengguna aktif bulanan alias monthly active users (MAU). Angka itu meningkat 14 persen dibandingkan MAU WhatsApp pada Juli 2017 lalu yang berjumlah 1,3 miliar. Pengguna aktif hariannya alias daily active users (DAU) berada di kisaran satu mliliar. Setiap harinya, WhatsApp menangani lebih dari 60 miliar pertukaran pesan antar-pengguna di seluruh dunia. Pertumbuhan ini diramalkan bakal terus meningkat, seiring penetrasi internet yang semakin luas. Angka tersebut akan diperkirakan terus meningkat, karena –memang- sekarang adalah era informasi.
Terhadap objek apapun, selalu dihadapkan pada dua kondisi, positif dan negatif. Demikian juga memandang WhatsApp juga memiliki isi positif dan negatif. Jika kita melihat dari sisi positif, tentu energi yang muncul adalah energi positif. Demikian juga sebaliknya. Beberapa dampak positif dari penggunaan WhatsApp –setidaknya berdasarkan pengalaman penulis–, di antaranya adalah, WhatsApp bisa menjadi sarana untuk membentuk komunitas belajar (e-learning community).
E-Learning Community
Setiap kali memasuki tahun akademik baru, mahasiswa dalam satu kelas yang saya ampu, selalu saya ajak untuk membentuk komunitas belajar melalui Grup WhatsApp. Grup WhatsApp ini beranggotakan semua mahasiswa dalam satu kelas-satu matakuliah di tambah saya (n + 1). Apa fungsinya grup ini dibuat. Di antaranya:
Setiap mahasiswa dapat meng-update pengetahuannya, tidak hanya sebatas pada jam kuliah yang sudah dijadwal oleh pihak kampus, tetapi lebih dari itu, mahasiswa dan dosen dapat melakukan sharing keilmuan kapanpun dan dimanapun. Tentu perbincangan di grup WhatsApp ini harus berbasis matakuliah. Sehingga memiliki kekhususan dan target sendiri-sendiri.
Setiap mahasiswa berkewajiban untuk membuat satu tulisan pendek namun utuh, terkait materi kuliah yang akan dipelajari. Semacam ringkasan materi, yang harus dibagikan kepada komunitas kelas melalui Grup WhatsApp tersebut. Batas akhir untuk membagikan tulisan di Grup adalah maksimal satu jam sebelum perkuliahan dimulai. Sehingga, dengan demikian mahasiswa –paling tidak- sudah terjamin, minimal pernah membaca tentang materi yang akan dipelajari.
Dosen dapat mengirimkan (membagikan) materi-materi pendukung, kepada komunitas belajar tersebut. Paling tidak bisa untuk bahan pengayaan bagi mahasiswa.
Mahasiswa dapat berlomba-lomba untuk menemukan lalu membagikan materi-materi pendukung matakuliah. Sehingga mudah terdeteksi, mana mahasiswa yang produktif, mana yang sebaliknya.
Untuk kebutuhan izin tidak masuk kuliah, cukup diinformasikan melalui Grup WhatsApp tersebut.
Dan tentu masih ada yang lainnya.
Melihat uraian di atas, penulis ingin menegaskan bahwa dengan demikian, tidak mungkin pembelajaran itu dilaksanakan tanpa kehadiran aplikasi WhatsApp. Aplikasi WhatsApp itu terdapat di smartphone, sehingga tidak mungkin kuliah tanpa smartphone. Smartphone yang ada aplikasi WhatsApp-nya justru akan menjadi media dalam pembelajaran yang sedang berlangung. Dengan kata lain, inilah merupakan salah satu wujud aplikasi blended learning.
Nah, sekarang bagaimana dengan dampak negatifnya? Menurut saya, marilah kita memfokuskan energi kita pada energi positif, sehingga dengan sendirinya dampak negatif akan tenggelam. Ada satu prinsip yang perlu dipegang teguh oleh pengguna WhatsApp, yaitu dalam ber- WhatsApp- ini, tentu kita harus memandang sebagai sarana hablum minannas. Mulai dari bagaimana menyapa, bagaimana menjawab pesan,, dan tentu harus mengetahui secara pasti, siapa pengirimnya, ama materinya benar adanya atau justru hoax, dan sebagainya. Akhir kata, hadirnya WhatsApp tidak perlu dipermasalahkan. Justru sebaliknya, WhatsApp hadir untuk memudahkan manusia dalam mengembangkan energi positif kita. Semoga. [AHF]