TEMBANG SUFI MANTIQUT THOIR-4 ABU YASID AL-BUSTHAMI

Keindahan narasi yang terdapat dalam kitab Mantiqu’t Thoir adalah pancaran pelangi yang membias menjadi ratusan warna. Masing-masing warna mengisahkan cerita sendiri yang bermuara pada satu tujuan yakni menjadi jati diri sejati sekaligus Ilahi yang disimbolkan dengan sosok Sang Simugh Raja Burung Paripurna. Tidak ada kisah yang terlewati di dalamnya kecuali sebuah ulasan deskripsi dari para pecinta Tuhan yang dilustrasi dengan rangkaian bahasa sufi, sehingga pembaca akan menemukan sebuah keselarasan antara pikiran, nafs, hati, dan jiwa. Melalui tokoh burung Hud-Hud Syekh Faridu’d-Din Attar menceritakan pengalaman Sang Sufi Abu Yasid al-Busthami yang terpesona pada Samudra perjalanan menuju hakikat kebenaran.

Sambil disimak oleh sekawanan burung yang hendak melakukan perjalanan jauh ini, Hud-Hud menyampaikan kisah Abu Yasid yang begitu dahaga dalam riyadah ketuhanan. Sang Hud-Hud memberikan khutbahnya bahwa perjalanan mencari jati diri dan Simugh adalah perjalanan suci yang akan menemukan banyak rintangan bahkan tidak akan jarang akan mememukan kematian. Mendengar kalimat pembuka yang disampaikan burung Hud-Hud sebagian dari mereka ada yang semakin berantusias, tetapi ada juga yang memiliki nyali sedikit sehingga memutuskan untuk tidak ikut.

Abu Yasid al-Busthami adalah bagian dari para perindu Tuhan hampir seluruh hidupnya digunakan untuk mencari cinta Ilahi. Bagi seorang Abu Yasid sosok dirinya bukanlah apa-apa dibanding dengan yang hendak dia tuju. Selama dua puluh tahun dia berkholwat mencari percikan nur ilahi. Selama itu pula dia tidak pernah melihat sinar matahari. Rasa kekaguman dalam perjalanannya telah melupakan siang dan malam, telah melupakan bulan, bahkan melupakan tahun. Bagi seorang Yasid menempa diri sebagai bentuk pengasahan untuk lebih menajamkan batin sehingga dapat membelah rahasia Ilahi.

Dalam pengetahuan Abu Yasid antara Jiwa dan Tuhan itu memiliki hubungan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Tidak ada pancaran ‘wujud’ di alam semesta ini kecuali perwujudan dari ‘Tuhan’. Tak ada satu bendapun yang dapat mewujudkan dirinya sendiri, sehingga seluruh keberadaannya merupakan penjumlahan dari wujud-Nya. Maka dalam kesaksian Abu Yasid, jiwa manusia terperangkap dalam keterkaitan dengan kebendaan ciptaan-Nya, sehingga untuk menyentuh alam Ilahi harus meninggalkan itu semua dengan jalan menyepi.

Mendengar cerita Abu Yasid, para burung yang ada di sekitar Hud-Hud mulai memiliki pengetahuan filsafat ketuhanan. Kini mereka mulai paham bahwa Tuhan yang tidak tanpak tak akan menampakkan diri kepada orang-orang yang masih terikat dengan penampakan duniawi dan senang atas penampakan-penampakan semu. Untuk melepaskan semua itu, maka kecintaan terhadap duniawi sebisa mungkin harus ditinggalkan untuk mencari kehakikian.

Setelah membiarkan sekawanan burung tersebut merenung, dia melanjutkan kisah Abu Yasid. Dua puluh tahun Abu Yasid menyepi dan mulai timbul keinginannya untuk bermasyarakat kembali. Dia ingin melihat dan berinteraksi dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. Namun, pada saat dia keluar dari tempat khalwatnya, dijumpainya orang tua yang sedang menunggu kehadirannya. “Wahai Abu Yasid, hendak ke mana engkau, ibarat pohon engkau beru tertunas belum berbuah!” mendengar ucapan itu Abu Yasid langsung kembali lagi ke tempat khalwatnya. Lantas dia melanjutkan perjalanan batinya sampai dua puluh tahun kemudian.

Dalam mengarungi samudra Ilahi, Abu Yasid al-Busthami betul-betul zuhud. Baginya zuhud tidak mengenal tingkatan, melainkan harus tetap lurus munuju Dzat Robbul Izzati. indikator keberhasilannya sampai betul-betul tidak dapat debedakan lagi antara yang mencari dan yang dicari, antara yang menuju dan yang dituju. Dengan demikian seorang tersebut telah mencapai maqam kesempurnaan (www.unisma.ac.id).

Demikianlah tuturan Hud-Hud kepada sekawananya yang betul-betul ingin mengikuti jejaknya. Beberapa saat kemudian sekawanan burung ini dengan dipimpin oleh Hud-Hud mulai mengepakkan sayapnya menuju langit biru. Sekawanan burung ini akan melintasi tujuh gunung menjulang dan tujuh lembah yang sangat mengerikan. Tak ada yang mereka bawa kecuali rasa keyakinan seperti yang telah membuncak di dalam dadanya masing-masing. Semoga kita dapat berikhtiar dan menjadikan puasa tahun ini sebagai momentum untuk lebih mencintai pesan-pesan Ilahi.

Moh. Badrih
Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UNISMA
Aktivis Remaja Masjid Kota Malang
Pengurus Ponpes Tahfidz Al Madani Malang

Artikel yang Direkomendasikan