Namanya Muhammad Afnani Alifian, mahasiswa semester 4 Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Islam Malang. Kini mahasiswa asal Situbondo ini aktif di Badan Eksekutif Mahasiswa Unisma sebagai mendikbud.

Berikut tulisannya yang di muat di Radar Madura edisi 28 April 2020.

JUDUL: Merusak Bumi dari Meja Makan
PENULIS: M. Faizi
TAHUN: 2020
PENERBIT: Cantrik Pustaka
TEBAL: 140 halaman
ISBN: 978-602-0708-58-4
HARGA: Rp. 55.000

Sampah: Rapor Merah Umat Manusia
Sejak meja makan kita (umat manusia) telah terbiasa memproduksi sampah. Bagi M Faizi, kiai penulis yang saat ini ditinggal di pulau Madura itu, ada tiga hal yang menjadikan meja makan memiliki hubungan dengan perusakan alam, yaitu sampah plastik, tisu, dan sisa makanan. Ketiga hal tersebut sangat gampang dipakai lalu terbuang begitu saja tanpa pernah pemakainya berpikir kemana semua itu berakhir.
Saat ini, alat alat jadul (jaman dulu) piring kaca, teko, tempat minum kaca, telah berganti plastik, semua serba plastik. Bahkan belanjaan yang harusnya muat dalam kantong, harus dibungkus plastik. Kesemuanya digantikan dengan plastik yang sekali pakai, namun butuh waktu jutaan tahun untuk dapat mengurai.
Kain yang dulunya dapat digunakan selama beberapa kali guna membersihkan kotoran di berbagai kondisi, usai kotor cuci pakai kembali. Telah bergeser peran akibat kehadiran tisu, dengan alasan efisien, manusia yang malas mencuci lebih jumawa memakai tisu. Belum lagi jika kita hendak makan di restoran ternama atau fast food, bahan yang dipilih harus yang terbaik, kentang saja harus yang berkualitas super. Sementara manusia abai pada sisa makanan yang berakhir di tempat sampah, sungguh ironi.
KH Faizi, melalui sehimpun esainya tengah memberikan rapor merah kepada umat manusia. Rapor hasil dari perilaku semena-mena yang jarang diperhatikan. Dari judul buku “Merusak Bumi Dari Meja Makan,” pembaca akan langsung dibuat penasaran. Apa hubungannya meja makan, dan perusakan terhadap bumi. Manusia yang terlampau tidak peduli  lingkungan bisa saja langsung terkejut saat membuka halaman pertama. Ia menuliskan tentang suatu paling ironi bahwa yang susah itu adalah memberi tahu orang yang sok tahu tapi tidak mau tahu.
Pada kumpulan tulisan M Faizi ini manusia ternarasikan sebagai makhluk ironi. Acap lupa akibat dari perilaku yang diperbuatnya sendiri. Manusia diberi rezeki yang melimpah, malah semakin tamak dan serakah: diberi kekayaan gemah ripah loh jinawi, kaya daratan dan lautannya, eh malah masih mengambil untung sambal merusaknya sendiri.
Animal Plasticum
Sampah paling berbahaya di muka bumi adalah sampah plastik. Plastik amat sulit terurai, sudah banyak penelitian yang mewartakan bahan plastik—termasuk yang terlihat paling remeh, kantong plastik— memerlukan ratusan hingga ribuan tahun agar dapat terurai secara alami. Sialnya, rentang waktu penguraian yang lama tersebut sungguh sangat mengharukan.
Jika mengutip Kajian Laporan Sintesis Bank Dunia bersama Lembaga peneliti sampah plastik di Indonesia pada 2018 lalu, persoalan sampah plastik di Indonesia, sudah masuk posisi darurat, yang perlu segera ditangani. Data itu menyebutkan bahwa, tidak kurang dari 150 juta ton plastik telah mencemari lautan dunia. Asia Timur ditengarai sebagai wilayah dengan pertumbuhan produksi sampah tercepat di dunia.
Penelitian yang dilakukan Jenna R. Jambeck pada 2015 menegaskan hal serupa. Dari total 192 negara yang dikaji, sebanyak lima negara di Kawasan Asia Timur bertanggung jawab atas lebih dari setengah sampah plastik yang ada di lautan. Mirisnya, dari kelima negara tersebut, Indonesia menempati urutan kedua setelah Tiongkok. Disusul dengan Vietnam, Filipina, dan Thailand. Total sampah plastik Indonesia yang berakhir ke laut diketahui mencapai 187,2 juta ton (Majalah kemenkeu, Volume XIV.2019)
M Faizi menyebut manusia sebagai animal plasticum, makhluk yang tidak bisa lepas dari plastik. Semua serba plastik, bahkan cerita dari M Faizi membeli barang kecil yang harusnya muat dalam saku, sekarang sudah memakai plastik. Melalui esai ini, penulis juga berusaha mengingatkan betapa bahayanya plastik yang sulit terurai. Ia menuliskan Adakah yang lebih abadi daripada cinta Majnun kepada Laila? Ada, di antaranya ialah kotak styrofoam, bungkus nasi Majnun Laila milenial, bungkus makan siang mereka berdua yang akan tetap abadi di atas tanah saat mereka sudah terkubur di baliknya. (hal.76)
Meski belakangan ini kerap digalakkan “bebas dari sampah plastik”. Bahkan, Di kota Malang sendiri, DLH (Dinas Lingkungan Hidup) tengah gencar menyuarakan pilah sampah dari rumah. Nyatanya, tidak semua orang memahami cara memilah dan memilih sampah.
M Faizi menghimpun secara gamblang manusia (makhluk ironi) Sering dengan dalih pemenuhan kebutuhan, justru merusak.  Sebagai konklusi dari permasalahan rapor merah atas perilaku manusia, Faizi menyertakan solusi guna mengatasinya. Tak lupa orang yang besar dari dunia Pesantren ini, tepatnya pesantren Annuqayah Luk Guluk, Madura. memperkuat esai esainya dengan ayat suci Al Quran. Bahkan esai-esai dalam buku ini memang “hampir semua” didasarkan pada budaya Islam.
Buku tipis yang menyegarkan kesadaran umat manusia yang telah berhasil menuliskan tinta merah pada rapornya sendiri. Betapa manusia yang ironi ini amat senang melakukan diskusi di meja makan. Tanpa menyadari betapa banyak sampah yang diproduksi dari perilaku konsumtif itu.
Biodata
Muhammad Afnani Alifian, Mahasiswa Universitas Islam Malang
Nomor Telp/WA: 082338868178
Facebook: Dani Alifian
Instagram: @dani_alifian
Twitter: @dani_alifian
Alamat saat ini:Jl Mertojoyo Selatan, Blok C No.18 A, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang

 

 

 

 

Artikel yang Direkomendasikan