Digital Native dan Etika Komunikasi

Oleh Muhammad Yunus

 

Heboh percakapan pelamar kerja melalui media komunikasi online tersebar. Screenshot percakapan itupun menjadi perbincangan netizen. Komentar negatif yang meyayangkan cara komunikasi pencari kerja itupun muncul kata etika. Apakah para pencari kerja itu yang notabene adalah para kaum milenial tidak mengetahui bagaimana membangun komunikasi yang baik agar menimbulkan kesan positif bagi pemilik pekerjaan sehingga ada peluang untuk diterima, atau kaum milenial tersebut berpikir bahwa semuanya dianggapnya sama (over generalization/ gebyah uyah) sehingga tidak memperdulikan siapa yang sedang diajak berbicara.

 

Keresahan etika berkomunikasi ini muncul seiring dengan berkembangnya teknologi informasi, kisaran tahun 2000, ketika memasuki milenium ketiga. Tindak tutur yang senantiasa penuh dengan maksim (cara berkomunikasi) seakan terdegradasi dengan percakapan tidak langsung karena melalui perantara gawai. Keresahan inilah yang kemudian memunculkan etika komunikasi di dunia pendidikan. Misalnya muncul etika bagaimana berkomunikasi dengan guru atau dosen melalui media sosial atau email. Perangkat baru inilah kemuidian memunculkan trend baru dalam berkomunikasi yang menuntut adanya etika juga dalam melakukannya. Jika hal ini tidak diperhatikan maka akan memunculkan budaya yang bisa bertentangan dengan budaya tindak tutur langsung.

 

Anak milenial yang dikenal dengan digital native adalah generasi yang sangat dekat sentuhannya dengan dunia teknologi informasi. Mereka sejak lahir sudah dekat dengan berbagai jenis gawai. Perilaku orang tua yang selalu ada di lingkungan anak yang lahir di era digital dianggap oleh anak tersebut ini adalah dunianya. Sehingga anak lebih cepat beradaptasi dengan gawai daripada orang tua yang seringkali masih kaku dan kikuk untuk explorasi tools yang ada di gawai tersebut. Gaya bebas berselancar inilah kemudian sedikit berdampak terhadap gaya bahasa dan komunikasi anak zaman now. To the point, menyingkat bahasa, bahasa alai dan sebagainya menjadi bahasa yang bisa jadi bertentangan dengan gaya bahasa orang dewasa. Jika hal ini tidak dipahami maka akan memunculkan kesalahpahaman yang dapat berdampak terhadap renggangnya hubungan yang ada.

 

Apakah digital native berperilaku seperti itu semua? Tentu jawabannya adalah tidak. Bergantung dari bagaimana orang tua mendidik putra-putrinya. Sayidina Ali r.a. pernah menyampaikan “didiklah anakmu sesuai dengan zamannya” adalah wejangan yang harus diperhatikan serius oleh para orang tua. Bukan berarti kita memberi kebebasan kepada putra-putri kita untuk menggunakan gawai dengan sebebas-bebasnya dengan alasan ikut moderisasi, tetapi bagaimana kita sebagai orang tua mampu mengarahkan putra-putri kita lebih bijak dalam menggunakan itu semua.

 

Terkhusus dalam hal komunikasi, bahasa adalah alat komunikasi. Bahasa juga merupakan cerminan budaya. Bahasa yang kuat menandakan budaya yang kuat. Jika kita mampu menggunakan bahasa dengan baik dan benar maka menandakan betapa kuatnya budaya kita. Oleh karena munculnya bahasa-bahasa yang mestinya tidak perlu terjadi ketika melamar pekerjaan menandakan terjadinya degradasi etika berkomunikasi dengan baik. Menganggap lawan bicara (orang yang dikabari melalui media sosial/ perangkat komunikasi) sama semuanya sehingga bahasa yang dipakai juga sama adalah suatu kekeliruan. Apapun yang disampaikan tentu bahasa mempunyai kekuatan tersendiri. Salah menyampaikan pesan melalui media sosial, akan diterima dan ditangkap secara berbeda pula. Apalagi dunia tulisan tidak bisa langsung konfirmasi seperti dunia percakapan langsung.

 

Maka kepada anak milenian dengan sebutan digital native, pahamilah bagaimana berkomunikasi yang baik melalui media sosial. Begitu juga non-digital native bukan berarti mereka terbebas dari ini semua. Intinya cerdaslah bermedia sesial. Apa yang kita tulis di media sosial adalah cerminan kita. Jika tidak mampu menggunakan bahasa yang baik maka itulah cerminan karakter penulisnya. Semoga kita mampu menggunakan kata-kata yang baik yang itu adalah cerminan budaya dan karakter penulisnya.

 

Muhammad Yunus. Dosen Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Universitas Islam Malang. Pengurus PW LP Maarif NU Jawa Timur.

Recommended Articles